05 Juni, 2008

Tsunami Pendidikan adalah BHP

Tsunami Pendidikan adalah BHP

Penulis :Irfan Amir

Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas angkatan 2006

“Menulis Untuk Kaum Tertindas dan Terampas Haknya”

Revolusi belum selesai, itulah istilah yang diberikan sang proklamator Bung Karno kepada bangsa Indonesia pasca kemerdekaan ’45, dimana paham revolusioner dijadikan kunci atau paham dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Singkat tapi penuh makna, yang seharusnya ditelaah dan ditafsirkan oleh para pemangku kekuasaan bangsa saat ini. Salah satu makna yang tersirat dari istilah itu adalah mengenai ”kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kaum terdidiknya”. Sebagaimana para Founding Father yang menuangkan cita-cita luhurnya yang kemudian dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, mencerdaskan kehidupan banga, yang merupakan tujuan dan fungsi Negara, yang kemudian dipertegas dalam pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Namun keinginan pendiri negara yang ingin melihat pendidikan dinegara ini maju, dalam konteks kekinian sangat jauh dari harapan dan cita-cita. Rezim penguasa saat ini tengah gencar-gencarnya merumuskan, merencanakan dan kemudian menetapkan berbagai macam pola kebijakan agar kewajiban Negara dalam pemenuhan pendidikan menjadi berkurang, utamanya menyangkut pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu.

Hal ini terekam jelas, mulai dari rezim Orde Baru sampai rezim saat ini (SBY-JK) belum mampu merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20% sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Gambaran ini semakin diperjelas dengan munculnya beberapa pasal dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidukan Nasional (Sisdiknas) sehingga menurunkan bahkan menghapus kewajiban pemerintah sebagai penangggungjawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat, Hal ini tertuang dalam pasal 9 UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, serta pasal 12 ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya pelenggaraan pendidikan terkecuali bagi mereka yang dibebaskan dari kewajibannnya sesuai UU yang ada.

Proyek komersialisasi, privatisasi dan liberalisasi pendidikan melalui RUU BHP yang rahimnya terdapat dalam pasal 53 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, telah menjadi prioritas pemerintah dan DPR dalam program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007 (media Indonesia,27/01/07). Hal ini terdengar panas dan bercampur emosi bagi masyarakat yang masih peduli akan nasib dunia pendidikan yang telah dijual di negara yang mengaku berkeadilan sosial. Jika dicermati secara seksama, RUU BHP lebih mengarah pada upaya liberalisasi dan kapitalisasi Pendidikan nasional. Apabila RUU BHP ini berhasil disahkan menjadi UU dan diterapkan, maka terjadilah bencana besar bagi dunia pendidikan.

Dengan diterapkan BHP, bukan hanya PTN dan PTS yang menjadi obyek komersialisasi, namun juga berlaku bagi semua jenjang pendidikan mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi (PT). Dengan status BHP, Negara sama sekali tidak memiliki peran apapun dalam pembiayaan sistem pendidikan, namun pendidikan akan dikelola dengan menganut teori dagang. Dengan status BHP Institusi Pendidikan memiliki kebebasan untuk mencari biaya sebagai alternatif pengurangan dari subsidi Pemerintah. Alternatif tersebut salah satunya adalah kenaikan biaya SPP dan penerimaan mahasiswa lewat jalur khusus (non-subsidi), ditambah dengan adanya iuran Formad seperti kebijakan yang diterapkan dibeberapa fakultas di Unhas yang sementara mempersiapkan diri menjadi BHP. Dampaknya, pendidikan yang bermutu dan berkualitas hanya diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai kemampuan finansial, dan golongan yang tidak mampu utamanya masyarakat miskin akan dibiarkan terpuruk dengan kondisinya. Maka sejarah kelam bangsa ini dalam dunia pendidikan kembali terulang dimana pada zaman kolonial Belanda, pendidikan hanya diperuntukkan bagi golongan priyai atau golongan non-pribumi saja yang berhak mendapat pengajaran sementara rakyat biasa akan dijadikan budak slaves.

BHP nantinya hanya akan menghasilkan out put generasi kapitalis-kapitalis baru yang akan mejelmakan dirinya sebagai lintah darat, menindas dan memeras rakyat dalam segala bentuk pemerasan karena dalam benak mereka bagaimana mengembalikan modal besar yang telah dikorbankan oleh orang tua mereka dalam pemenuhan pendidikan.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan hakekat pendidikan sebagaimana yang dikatakan Maulana Rumi dan KI Hajar Dewantara dalam konsep dehumanisasi bahwa Pendidikan adalah sarana untuk memanusiakan manusia”. bukan sarana untuk menjadikan manusia sebagai serigala bagi manusia lainnya (Homo homini lupus).

Seharusnya kita berkaca dan belajar dari sejarah, pengalaman dan lingkungan kita sehari-hari, RUU BHP yang masih dalam penggoodokan saja setiap tahunnya sekitar 211.643 siswa Sekolah Menengah Pertama dan Madrsah Tsanawiah (MTs) di pelosok tanah air, terancam putus sekolah karena sejumlah faktor, diantaranya tingginya biaya hidup dan ditambah mahalnya biaya pendidikan. Selain itu, sekitar 459.000 tamatan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiya (MI) tidak melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Sujanto, Direktur Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional dalam jumpa pers di Jakarta, beberapa waktu lalu. Pertanyaan sekarang bagaimana nantinya kalau BHP diterapkan?

Akankah bencana pendidikan ini akan kita biarkan menimpah dunia pendidikan bangsa ini? Tugas mahasiswalah sebagai bagian dari kaum intelektual untuk memikirkan konsep ideal dalam melawan keinginan pemerintah untuk menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis.

Wahai kaum penguasa “negara buta dengan pejabatnya tuli” sang penentu kebijakan yang lagi sedang asyik duduk diruangan berAC, jangan menutup mata dan telinga terhadap jeritan rakyt. Pandangi mereka walau hanya dari kaca jendelah kantor mewahmu.

Tidak ada komentar:

Myblog