10 Juni, 2008

Leadhership,Moralitas dan Intelektualitas didepak dari Jiwa Aparatur Negara

Didepaknya ruh ledahership, moralitas, dan intelektualitas dalam jiwa aparatur negara (pemerintah) membuat rakyat semakin tertindas dan terampas haknya (terabaikan). Namun kejahatan (penindasan) yang dilakukan oleh bandit-bandit (aparatur) negara hanya sebagian kecil saja yang muncul kepermukaan dan diproses secara hukum. Dalam proses hukum bukan keadilan yang didapatkan tetapi sebuah perselingkuhan (dagang hukum) antara aparat penegak hukum (pengusaha hukum) dengan para bandit negara, melalui perselingkuhan tersebut maka putusan yang keluar adalah putusan bebas, putusan kontroversial yang tidak memihak kepada keadilan. Fenomena itu bukan lagi suatu hal yang luar biasa tetapi telah menjadi suatu kebudayaan dalam rana hukum.

Mereka yang telah ditetapkan terpidana dan telah menjalani proses hukum masih saja oleh negara diberikan kesempatan "jatah" untuk memangku suatu jabatan penting dalam sturuktur negara, hal tersebut tak lain karena ulah para politikus busuk yang lebih mengutamakan kepentingan partainya dari pada kepentingan rakyatnya dalam artian kepeningan partai diatas segala-galanya.

Hilangnya ketiga elemen diatas membuat negeri ini dihuni oleh para prampok berdasi, misalnya saja baru-baru sebuah fenomena menarik yang patut diacungi jempol buat KPK yang telah berhasil mengungkap kasus suap di BLBI yang melibatkan personil kejaksaan dan Artalita Suriayani.

Jauh hari sebelumnya telah beredar foto mesum seorang anggota DPR yang berinisial "MM" tetapi sebelum foto "MM" telah beredar video mesum "YZ". Beberapa bulan yang lalu sebuah kasus korupsi terungkap dalam institusi Departemen Agama, korupsi di departemen kelautan, dan saat ini kasus suap berhasil dibongkar oleh KPK dalam kantor bea cukai.Inilah sebua contoh kongrit yang dapat menggambarkan hilangnya moralitas dalam diri individul para pejabat negeri ini.

Jika ditelah kenapa sistem pemerintahan indonesia saat ini tidak berkembang malah menurun mutu pelayannya tak lain disebabkan oleh tiga faktor yaitu leadhership, Moralitas, dan Intelektualitas.

Hilangnya moralitas dalam jiwa para pejabat negeri tak lain disebabkan karena minimnya pendidikan agama saat disekolah-sekolah dan kuarangnya pengetahuan orang tua akan pentingnya penanaman ahlak dalam diri sang anak. Dalam dunia pendidikan para peserta dididik bukannya dididik supaya kritis tetapi mereka memang sengaja diarahkan hanya sebagai mesin-mesin pekerja dan mereka para penguasa hanya berfikir untuk bagaimana cara mempertahankan kekuasaannya.

Olehnya itu, pemerintah bersama seluruh elemen masyarakat harusnya mulai mengubah sistem pendidikan yang selama ini membekukan pola pikir peserta didik kepola pikir kritis,inovatif dan kreatif yang berdimensi roh moralitas, leadhership dan intelektualitas.

05 Juni, 2008

Tsunami Pendidikan adalah BHP

Tsunami Pendidikan adalah BHP

Penulis :Irfan Amir

Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas angkatan 2006

“Menulis Untuk Kaum Tertindas dan Terampas Haknya”

Revolusi belum selesai, itulah istilah yang diberikan sang proklamator Bung Karno kepada bangsa Indonesia pasca kemerdekaan ’45, dimana paham revolusioner dijadikan kunci atau paham dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Singkat tapi penuh makna, yang seharusnya ditelaah dan ditafsirkan oleh para pemangku kekuasaan bangsa saat ini. Salah satu makna yang tersirat dari istilah itu adalah mengenai ”kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kaum terdidiknya”. Sebagaimana para Founding Father yang menuangkan cita-cita luhurnya yang kemudian dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, mencerdaskan kehidupan banga, yang merupakan tujuan dan fungsi Negara, yang kemudian dipertegas dalam pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Namun keinginan pendiri negara yang ingin melihat pendidikan dinegara ini maju, dalam konteks kekinian sangat jauh dari harapan dan cita-cita. Rezim penguasa saat ini tengah gencar-gencarnya merumuskan, merencanakan dan kemudian menetapkan berbagai macam pola kebijakan agar kewajiban Negara dalam pemenuhan pendidikan menjadi berkurang, utamanya menyangkut pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu.

Hal ini terekam jelas, mulai dari rezim Orde Baru sampai rezim saat ini (SBY-JK) belum mampu merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20% sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Gambaran ini semakin diperjelas dengan munculnya beberapa pasal dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidukan Nasional (Sisdiknas) sehingga menurunkan bahkan menghapus kewajiban pemerintah sebagai penangggungjawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat, Hal ini tertuang dalam pasal 9 UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, serta pasal 12 ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya pelenggaraan pendidikan terkecuali bagi mereka yang dibebaskan dari kewajibannnya sesuai UU yang ada.

Proyek komersialisasi, privatisasi dan liberalisasi pendidikan melalui RUU BHP yang rahimnya terdapat dalam pasal 53 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, telah menjadi prioritas pemerintah dan DPR dalam program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007 (media Indonesia,27/01/07). Hal ini terdengar panas dan bercampur emosi bagi masyarakat yang masih peduli akan nasib dunia pendidikan yang telah dijual di negara yang mengaku berkeadilan sosial. Jika dicermati secara seksama, RUU BHP lebih mengarah pada upaya liberalisasi dan kapitalisasi Pendidikan nasional. Apabila RUU BHP ini berhasil disahkan menjadi UU dan diterapkan, maka terjadilah bencana besar bagi dunia pendidikan.

Dengan diterapkan BHP, bukan hanya PTN dan PTS yang menjadi obyek komersialisasi, namun juga berlaku bagi semua jenjang pendidikan mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi (PT). Dengan status BHP, Negara sama sekali tidak memiliki peran apapun dalam pembiayaan sistem pendidikan, namun pendidikan akan dikelola dengan menganut teori dagang. Dengan status BHP Institusi Pendidikan memiliki kebebasan untuk mencari biaya sebagai alternatif pengurangan dari subsidi Pemerintah. Alternatif tersebut salah satunya adalah kenaikan biaya SPP dan penerimaan mahasiswa lewat jalur khusus (non-subsidi), ditambah dengan adanya iuran Formad seperti kebijakan yang diterapkan dibeberapa fakultas di Unhas yang sementara mempersiapkan diri menjadi BHP. Dampaknya, pendidikan yang bermutu dan berkualitas hanya diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai kemampuan finansial, dan golongan yang tidak mampu utamanya masyarakat miskin akan dibiarkan terpuruk dengan kondisinya. Maka sejarah kelam bangsa ini dalam dunia pendidikan kembali terulang dimana pada zaman kolonial Belanda, pendidikan hanya diperuntukkan bagi golongan priyai atau golongan non-pribumi saja yang berhak mendapat pengajaran sementara rakyat biasa akan dijadikan budak slaves.

BHP nantinya hanya akan menghasilkan out put generasi kapitalis-kapitalis baru yang akan mejelmakan dirinya sebagai lintah darat, menindas dan memeras rakyat dalam segala bentuk pemerasan karena dalam benak mereka bagaimana mengembalikan modal besar yang telah dikorbankan oleh orang tua mereka dalam pemenuhan pendidikan.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan hakekat pendidikan sebagaimana yang dikatakan Maulana Rumi dan KI Hajar Dewantara dalam konsep dehumanisasi bahwa Pendidikan adalah sarana untuk memanusiakan manusia”. bukan sarana untuk menjadikan manusia sebagai serigala bagi manusia lainnya (Homo homini lupus).

Seharusnya kita berkaca dan belajar dari sejarah, pengalaman dan lingkungan kita sehari-hari, RUU BHP yang masih dalam penggoodokan saja setiap tahunnya sekitar 211.643 siswa Sekolah Menengah Pertama dan Madrsah Tsanawiah (MTs) di pelosok tanah air, terancam putus sekolah karena sejumlah faktor, diantaranya tingginya biaya hidup dan ditambah mahalnya biaya pendidikan. Selain itu, sekitar 459.000 tamatan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiya (MI) tidak melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Sujanto, Direktur Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional dalam jumpa pers di Jakarta, beberapa waktu lalu. Pertanyaan sekarang bagaimana nantinya kalau BHP diterapkan?

Akankah bencana pendidikan ini akan kita biarkan menimpah dunia pendidikan bangsa ini? Tugas mahasiswalah sebagai bagian dari kaum intelektual untuk memikirkan konsep ideal dalam melawan keinginan pemerintah untuk menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis.

Wahai kaum penguasa “negara buta dengan pejabatnya tuli” sang penentu kebijakan yang lagi sedang asyik duduk diruangan berAC, jangan menutup mata dan telinga terhadap jeritan rakyt. Pandangi mereka walau hanya dari kaca jendelah kantor mewahmu.

28 Mei, 2008

Pendidikan Tidak Menganut Teori Dagang

Ada sebuah pepatah mengatakan "kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh orang-orang terdidiknya". Pepatah ini mencerminkan pentingnya sarana pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan suatu hal yang paling esensial bagi kemajuan suatu indidvidu, masyarakat, bangsa dan negara. Salah satu tujuan pendididkan menurut Maulana Rumi dan Ki Hajar Dewantoro adalah konsep dehumanisasi, "bahwa pendidikan merupakan sarana memanusiakan manusia". Pendidikan juga dapat dijadikan tolak ukur bagi kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa. dapat dikatakan sebuah bangsa tanpa pendidikan sulit untuk maju dan berkembang bahkan haram hukumnya untuk menjadi negara adikuasa, oleh karena itu pembangunan manusia harus memperioritaskan pendidikan.

namun saat ini yang terjadi adalah pendidikan dijadikan objek komersialisasi oleh para pemilik modal yang di back up oleh penguasa negeri ini. Lihat saja mereka para penguasa yang sedang duduk diruangan berAc, berdasi dan dengan sombong berjalan ditengah-tengah penderitaan rakyat akan tidak terpenuhinya hak-hak dasar termasuk kesehatan dan pendidikan. mereka seakan menutup mata, telinga dan hati nuraninya serta acuh terhadap jeritan rakyat akibat naiknya harga bahan pokok yang merupakan imbas dari naiknya BBM.

Mereka lupa ataukah pura-pura lupa akan funsi dan tujuan dan tanggung jawab negara yang telah dirumuskan para Founding father bangsa ini yang mereka tuangkan dalam UUD 1945 yaitu salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pemerintah saat ini melalui RUU BHP dan pasal 72-74 Perpres no.77 tahun 2007 dan berbagai kebijakan lainnya seperti RUU PMA yang mebuka peluang modal asing untuk menguasai cabang-cabang penting sumber devisa dalam negeri adalah sebuah bentuk pemerasan dan pembodohan terhadap rakyat dan disinilah pula kpenghianatan kaum intelektual berperan.

BHP dapat diartikan sebagai bom waktu dan bencana akan dunia pendidikan bangsa ini kelak. Karena melalui sistem BHP ini pendidikan ibarat sebuah perusahaan yang menganut teori dagang (mencari untung sebanyak-banyakny). Dengan menganut teori dagang, pendidikan yang bermutu hanya akan diperuntukkan bagi mereka-mereka yang memilki kemampuan finansial, sementara orang miskin akan tetap pada kondisinya yang terpuruk dan menjadi buru kasar di negeri seberang dan bahkan menjadi buruh di negeri ini.

Contoh kongrit dari penindasan struktural ini adalah mereka yng seharusnya duduk dibangku pendidikan malah diperempatan lampu merah bergelut dengan kerasnya hidup hanya demi sesuap nasi dan membantu ekonomi keluarga. Bukankah ini sebuah ironi bagi bangsa yang kaya akan sumber daya alam dan kemanakah peran kaum intelektual yang telah meraih gelar sarjana dan guru besar, apakah ia mampuh menciptakan suatu peralatan canggi untuk mengelola sendiri kekayaan alam negerinya dan kemana hasil penelitian mereka.

melalui proyek BHP dan Perpres No. 77 tahun 2007, pemerintah semakin mempertajam sekat-sekat sosial antara si kaya dan si miskin dalam memperoleh pendidikan. Hal ini semakin memperjelas keinginan pemerintah untuk melepas tanggung jawabnya dalam pemenuhan hak pendidikan khususnya pendidikan gratis dan bermutu.

Nuasnsa privatisasi, komersialisasi atau upaya pelepasan tanggung jawab negara dalam penyelenggraan pendidikan yang gratis dan bermutu sudah tercium dan terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dengan lahirnya sejumlah pasal dalam undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas. Diantaranya turunnya derajat kewajiban pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pemenuhan pendidikan dasar rakyat menjadi tanggung jawab bersama dengan masyarakat, hal ini dapat kita lihat dari pasal 9 UU sisdiknas. Dipasal lainnnya memberikan kewajiban bagi para peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi mereka yang dibebaskan dari kewajiban sesuai undang-undang yang ada (pada pasal 12 ayat 2 butir b).

Sekilas gambaran diatas merupakan sebuah bentuk penghianatan (pelanggaran) terhadap konstitusi. Sebab dalam UUU 1945 yang diamandemen menyatakan secara tegas pada pasal 31 ayat 2 , menyebutkan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainy. dan dipertegas lagi dalam ayat 4 "negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggran pendapatan dan belanja negara seryta dari anggaran pendapatan dan belanja darah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggraan pendidikan. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan, menegaskan bahwa segala peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang lahir dari rahim pasal 53 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2007 tentang Sisdiknas. dari rahim pasal ini pendidikan nantinya akan dikelola dengan menganut teori dagang sebagaimana dicantumkan dalam pasal 1 ayat 1 RUU BHP yang berbunyi Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan berprinsip nirlaba dan otonom. kemudian dalam pasal 36 ayat 1 secara terang-terangan pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula dalam pengopersian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan menengah (BHPMD) berasal dari masyarakat maupun hibah baik dari dalam maupun luar negeri.

Myblog