Berita Hukum



KPK tangkap hakim dan advokat yang sedang jual beli perkara. Foto: Sgp

Saat Para Penegak Hukum Bertransaksi
[Selasa, 30 March 2010]
“…Maka janganlah jangan heran Jika ada mafia di peradilan Jual beli pasal dan hukuman Yang kuat bayar pasti menang…”
Penggalan lirik lagu berjudul ‘Cicak Nguntal Boyo’ (Cicak makan buaya, red) karya ‘Kill The DJ’ di atas tampaknya cukup menggambarkan kondisi mafia peradilan atau makelar kasus saat ini. Betapa tidak, di saat media heboh memberitakan markus pegawai pajak yang terindikasi melibatkan aparat penegak hukum, kini muncul lagi kasus yang membuat miris dunia peradilan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, Selasa (30/3) menangkap seorang hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta dan seorang advokat di tepi Jalan Mardani Raya, Cempaka Putih, Jakarta. Saat ditangkap, KPK menemukan uang Rp300juta yang terpisah dalam dua amplop besar dengan pecahan Rp100 ribu dan Rp50 ribu.

Juru bicara KPK, Johan Budi menuturkan kronologi penangkapan hakim berinisial Ib dan advokat berinisial AS. Selasa (30/3) pagi sejak pukul 09.00 KPK sudah membuntuti Ib dan AS yang keluar dari gedung PTTUN Cikini. Keduanya menaiki mobil berbeda.

Setelah berputar-putar di jalan Mardani Raya, lanjut Johan, kedua mobil berhenti di tepi jalan. “Disitu AS memberikan kantong plastik yang berisi dua amplop besar kepada Ib.” Pada saat itu, petugas KPK menyergap dua orang itu sekitar pukul 10.30 WIB. “Pada pukul 12.15 mereka dibawa ke kantor KPK.”

Penangkapan Ib dan AS ini, masih menurut Johan, terjadi setelah KPK mendapatkan informasi dari masyarakat. Namun Johan enggan memberikan keterangan lebih lanjut Ib dan AS terlibat dalam kasus apa. “Diduga penyuapan kepada hakim untuk memenangkan kasus yang ditangani Ib. Dimana pihak yang dimenangkan diwakili oleh AS,” bebernya. Belakangan Johan menjelaskan bahwa Ib adalah Ibrahim, sedangkan AS memiliki nama depan Adner.

Ibrahim yang pernah menjadi hakim PTUN Medan, kata Johan, disangka dengan Pasal 6 Ayat (2), Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Korupsi. Pasal 6 Ayat (2) memuat larangan bagi hakim untuk menerima pemberian yang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya. Ancaman hukumannya adalah penjara antara tiga sampai 15 tahun dan denda antara Rp150 juta hingga Rp750 juta.  

Sementara Pasal 12 huruf c atau e UU Pemberantasan Korupsi mengatur tentang larangan serupa bagi hakim. Namun ancaman hukumannya berbeda. Yaitu penjara seumur hidup atau penjara selama empat sampai 20 tahun dan denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Sedangkan Adner, kata Johan, dijerat dengan Pasal 6 Ayat (1) dan Pasal 15 UU Pemberantasan Korupsi. Pasal 6 Ayat (1) mengatur larangan pemberian kepada hakim untuk mempengaruhi perkara. Sementara Pasal 15 mengatur tentang percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat untuk melakukan korupsi.

Dilarang menyuap
Terkait dengan penangkapan Adner, Sekjen Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Harry Ponto, menyatakan pada prinsipnya advokat memang mempunyai ‘kekebalan’ untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana saat menjalankan profesinya. “Hak imunitas advokat itu diatur dalam UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat,” kata Harry kepada hukumonline lewat telepon, Selasa (30/3).

Lengkapnya hak yang disebutkan Harry itu diatur dalam Pasal 16 UU Advokat yang merumuskan Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.

Penjelasan Pasal 16 UU advokat lebih jauh menjelaskan Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.

Lantaran tindakan penyuapan tidak dibenarkan secara hukum, lanjut Harry, maka advokat pun diharamkan melakukan penyuapan saat menjalankan profesinya. “Oleh karena itu advokat yang melakukannya harus mempertanggungjawabkannya secara pidana.”

Meski demikian Harry menyatakan Peradi akan menyiapkan bantuan jika Adner membutuhkannya. “Peradi punya Departemen Pembelaan Profesi untuk memastikan hak-hak advokat yang terbelit kasus hukum tetap terpenuhi. Jadi kalau dia (Adner) adalah anggota Peradi dan mau menggunakan haknya untuk didampingi, ya kita dampingi.”
Sumber : http://www.hukumonline.com

Myblog